Budaya Memberi Uang


Wah, tahu judulnya jangan langsung ngejudge buruk ya.  Pengalaman aja sih ini. Sejak kecil, saya selalu diajak main ke rumah orang tua ayah. Kenapa sering? Karena jarak antara rumah kami dengan rumah kakek-nenek terbilang dekat. Menyenangkan, kalo datang ke sana selalu disuruh makan, ga heran juga dulu saya sempet gemuk banget, apalagi setelah khitan makannya bisa enam kali sehari, haha.

Kakek itu pensiunan PNS, jadi ga heran juga di usia mereka yang sekarang sudah sepuh masih bisa hidup cukup mandiri. Yang ini salud. Kakek-nenek itu sejak saya masih SD mereka tinggal berempat sama kedua cucunya alias sepupuku. Gak tahu kenapa dua orang sepupuku itu dititipkan di situ. Mereka berdua lebih tua daripada saya, sekarang mereka udah punya anak malah. Keren Ya Kakek-nenekku.

Nah, ada budaya menarik nih, yang sudah ditanemin sama para pendahulu saya, seperti kakek-nenekku ini, yaitu selalu ngasih duit kepada cucu-cucunya yang berkunjung ke sana. Entahlah, saya sendiri juga kurang begitu paham tujuan dari mereka ngasi duit. Padahal orang tua kita mampu kok.

Bahkan hingga detik ini, hingga saya udah segede ini budaya itu masih saja ada. Bahkan nominal yang diberi itu berkali-kali lipat besarnya daripada saat saya masih kecil dulu. Wh, wah, wah. Alhamdulillaah. Hehe. Tapi, tahu ga sih ternyata dalam diri saya, tersimpan rasa sungkan yang luar biasa (lebai banget -_-). Mungkin karena melihat kondisi mereka berdua yang saat ini berkebalikan dengan keadaan mereka dahulu.

Kakek-nenek sudah sepuh, kakek udah mulai rabun, pendengarannya pun udah berkurang fungsinya. Nenek, belakangan ini baru operasi, tulangnya patah karena terpeleset, tapi sumpah, niat mereka buat bahagiain cucunya dengan cara ngasih duit masih berjalan.

Kalau saya lihat, mungkin tujuan mereka yang utama adalah pengen berbagi kebahagiaan aja kali ya ama cucunya. Mereka pingin ngasi tau sama cucu-cucu mereka kalau ga hanya ayah ibu aja yang cucu-cucunya punya, tetapi mereka juga punya kakek-nenek ( ini yang sering terlupa oleh kita). Tapi, yang saya takutkan, budaya yang sejak kecil tertanam ini, bisa menjadi kebiasaan buruk di masa depan. Ditakutkan, budaya ini akan menghilangkan  IKHLASISME ( Sori, bahasa gua ga keruan). Tapi, semoga aja, engga kejadian deh, selama kita udah ditanamkan nilai-nilai keikhlasan sejak kecil.

Bagi saya, kebudayaan memiliki dua sisi. Jika kita paham sisi terbaik, maka kebudayaan itu bukanlah suatu hal yang kontroversial, melainkan kita memandangnya sebagai sebuah keragaman.

Persahabatan itu Jodoh yang Ada di Tangan Tuhan

Jujur, entah berapa kali saya merasakan perasaan seperti sekarang. Saya merasa bahwa saya menrindukan sosok sahabat. Berkali-kali pula di dalam tulisan saya menyiratkan bahwa saya sangat-sangat menginginkan sosok sahabat. Mengayomi, diayomi, berbagi, dibagi, mendoakan, didoakan, menguatkan, dan dikuatkan. Sumpah, saya benar-benar tidak bisa hidup sendiri, hidup tanpa dunia-dunia lain di luar dunia saya hanya membuat saya begitu teraniaya.

Mungkin benar, jika sahabat itu layaknya jodoh. Seperti pasangan hidup pada masing-masing karakter yang dimiliki oleh sang waktu. Pasangan hidup seperti istri, sahabat, obat, kendaraan, dan sebagainya bisa jadi itu saya dapatkan karena saya berjodoh dengan hal-hal tersebut. Jodoh sudah diatur Tuhan bukan? Tapi, selalu ada usaha dibalik ketentuan Tuhan itu, agar hidup kita berasa hidup. Agar tak ada pandangan bahwa segalanya bisa didapatkan tanpa berbuat apa-apa, sekalipun tak dapat dipungkiri ada hal-hal seperti itu. Tapi, saya yakin segala seuatu yang terjadi pada manusia ada sebab dan akibat, Begitu juga jika saya menginginkan sahabat. Maka saya harus mulai berani mencoba bersinggungan dengan dunia luar. Sudah dicoba sih, meskipun hanya berupa langkah kecil, tapi mungkin belum saatnya bagi saya untuk diberi sahabat oleh Tuhan. Atau sudah ada namun saya tidak menyadarinya? Atau juga Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang besar bagi saya? Hanya Allah yang Maha Mengetahui. :)

Selalu bersyukur adalah salah satu jalan untuk menghilangkan kegalauan (selain main game, haha).

Pada timing yang tepat ini, perkenankan saya untuk menuliskan satu bait puisi setidaknya untuk mengobati si hati, dan menemani rasa syukur..

Hutan belantara, Tuhan merancangnya..
Ular, buaya, angin dingin, udara lembab, tak hanya itu pengisinya..
Tuhan menyertakan sungai jernih, area kosong tanpa atap pohon agar sinar matahari memapar,
hewan-hewan jinak
Dan bersyukurlah,
Manusia tak pernah puas, mintalah selagi itu baik, dan kembalilah bersyukur..